Program digitalisasi pendidikan bisa menjadi lompatan besar untuk masa depan anak-anak Indonesia, namun kini berubah menjadi sorotan tajam dugaan korupsi. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung terkait pengadaan laptop berbasis Chromebook senilai Rp 9,9 triliun.
Chromebook dan Jejak Digital yang Menyimpang
Pada 2019, Kemendikbudristek melakukan uji coba distribusi 1.000 unit Chromebook ke berbagai sekolah. Hasilnya? Gagal. Banyak sekolah tak memiliki akses internet yang memadai untuk mengoperasikan perangkat tersebut. Namun, alih-alih memperbaiki fondasi infrastruktur terlebih dahulu, proyek ini justru terus berlanjut.
Terdapat rekayasa kajian teknis dan pengambilan keputusan yang memaksakan penggunaan Chromebook, bahkan mengabaikan hasil uji coba awal.
“Kami mendalami kemungkinan adanya pemufakatan jahat dalam pengadaan ini,” ujar salah satu penyidik Kejagung.
Pemeriksaan Nadiem Makarim dan Timnya
Pada Senin, 23 Juni 2025, mantan Menteri Kemendikbudristek, Nadiem Makarim, menjalani pemeriksaan selama lebih dari 11 jam terkait dugaan kasus korupsi Chromebook Rp 9,9 Triliun oleh Kejagung. Ia hadir dengan membawa dokumen pribadi, namun tak memberikan pernyataan substantif kepada pers. Nadiem menyatakan siap kooperatif jika dipanggil kembali.
Selain Nadiem, tiga mantan staf khusus, yaitu:
- Fiona Handayani
- Jurist Tan
- Ibrahim Arief
juga menjalani pemeriksaan dan penggeledahan di kediamannya. Dari penggeledahan ini, penyidik menyita dokumen, alat elektronik, dan komunikasi internal terkait proses pengadaan Chromebook.
Chromebook: Dana Pendidikan yang Terbuang?
Proyek Chromebook ini berasal dari Satuan Pendidikan dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang sejatinya bertujuan mempersempit kesenjangan pendidikan. Namun dalam pelaksanaannya, proyek justru menyisakan pertanyaan:
- Apakah chromebook benar-benar berguna di sekolah?
- Siapa vendor utama yang mendapatkan proyek triliunan ini?
- Mengapa tetap dijalankan meski uji coba dinilai gagal?
Hingga kini, Kejagung masih menghitung potensi kerugian negara akibat Chromebook yang diduga menyentuh angka Rp 9,9 triliun. Belum ada tersangka, namun proses penyidikan terus bergulir.
Chromebook: Risiko Sistemik dan Kegagalan Tata Kelola
Kasus ini bukan hanya soal dugaan korupsi, tapi juga kegagalan menyusun kebijakan pendidikan berbasis kebutuhan nyata. Jika sekolah tidak siap dengan infrastruktur dasar, digitalisasi menjadi proyek utopis—menghambur-hamburkan uang tanpa hasil.
Lebih dari itu, proyek besar ini dikhawatirkan menjadi bagian dari:
- Pengondisian proyek untuk kelompok tertentu
- Pengabaian kajian teknis demi kepentingan politik
- Ketertutupan terhadap audit publik dan partisipasi masyarakat
Baca Juga: Pendidikan: 116 Miliar Anggaran Tak Bertuan
Seruan Publik: Jangan Diamkan Kejahatan di Dunia Pendidikan
Masyarakat menuntut transparansi. Bukan hanya dari Kejaksaan, tetapi juga dari pihak Kemendikbudristek yang selama ini bungkam terhadap berbagai pertanyaan publik.
“Digitalisasi pendidikan seharusnya menyatukan anak bangsa dalam kesetaraan akses — bukan menjadi ladang bancakan anggaran.”
Penutup
Mocopat menyerukan:
- Kepada KPK dan BPKP untuk ikut melakukan audit mendalam
- Kepada Kemendikbudristek untuk membuka seluruh dokumen pengadaan
- Kepada publik untuk terus mengawasi proses ini
Sebab jika dunia pendidikan ternoda, maka masa depan bangsa ikut tergadai.