Luka yang Diobral Negara
Setya Novanto dan nasib rakyat kecil yang memiliki perbedaan secara kontras dalam sistem penghukuman yang ada di Indonesia.
Di negeri yang katanya menjunjung hukum sebagai panglima, kami menyaksikan ironi: koruptor kelas kakap mendapat pengampunan, sementara rakyat kecil terlindas oleh hukum tanpa kompromi.
Adalah Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI, tersandung kasus mega korupsi e-KTP senilai Rp2,3 triliun, vonis 15 tahun penjara, namun kini hukumannya mendapat diskon oleh Peninjauan Kembali Mahkamah Agung.
Keadilan seperti jadi barang diskon, bisa bernegosiasi, harga murah, asal kau tahu jalurnya.
Jejak Hitam Setya Novanto
April 2018, vonis menjatuhkan bahwasannya Setya Novanto terbukti bersalah dalam skandal proyek KTP elektronik.
Modusnya: mark-up anggaran, suap pengadaan, dan pemufakatan jahat lintas pejabat. Setya Novanto menerima aliran dana, memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri dan kroni.
Publik saat itu bersorak—setidaknya satu dari mereka masuk bui. Namun, tahun-tahun berlalu, dan lubang hukum mulai tampak: ada jalan pulang yang tidak tersedia untuk rakyat biasa, hanya untuk elit berdasi.
Baca Juga: Chromebook Rp 9,9 Triliun dan Bayang-bayang Korupsi Digitalisasi Pendidikan
Remisi Setya Novanto dari Mahkamah Agung: Diskon Hukum?
Pada 2025, MA mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) Setya Novanto. Putusan ini mengejutkan publik—bukan karena dia bebas sepenuhnya, tapi karena diskon hukum, dan dampaknya jauh lebih simbolik daripada praktis.
Alasan MA: “terdapat kekeliruan dalam penerapan hukum pada putusan sebelumnya.” Namun alasan tersebut tidak transparan ke publik.
Tak ada konferensi pers terkait kasus Setya Novanto, tak ada dokumen utuh yang bisa menguatkan alasan tersebut. Semua seperti senyap, seolah lupa bahwa ini menyangkut uang rakyat.
Baca Juga: Pendidikan: 116 Miliar Anggaran Tak Bertuan
Hukum yang Lunak untuk Koruptor
Pasal 263 KUHAP membuka ruang untuk PK. Tujuannya mulia: menjamin keadilan jika ada kesalahan besar. Tapi dalam praktik, PK telah menjadi “jalan belakang” bagi narapidana korupsi.
Menurut data ICW 2010–2024: 19 koruptor mengajukan PK, dan lebih dari separuhnya berhasil.
Sebaliknya, ribuan narapidana pencuri kecil, pengambil sisa panen, atau penggelap rokok seharga Rp50.000 — tetap menjalani hukuman penuh tanpa peluang “keadilan kedua”.
Kita Hidup dalam Sistem yang Melindungi Para Penjarah Negara
Setya Novanto bukan satu-satunya. Ada nama-nama lain: Djoko Tjandra, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum,
semuanya menyentuh sistem hukum untuk mengubah nasib—dan sebagian berhasil.
“Korupsi adalah kejahatan luar biasa, tapi hukum kita biasa-biasa saja dalam menghadapinya.”
Ironisnya, publik seperti dilatih untuk lupa. Skandal besar berganti isu cepat, sementara penjarahan terhadap anggaran publik tetap terjadi dalam diam.
Lawan dengan Tulisan, Lawan dengan Ingatan
Kami tidak memiliki palu hakim, tapi kami punya pena yang tak bisa diam.
Kita menulis agar rakyat tahu siapa yang sedang dipermainkan.
Saya menulis agar sejarah tak hanya ditulis oleh pemenang, tapi oleh mereka yang tetap berteriak walau disuruh diam.
Jika negara terus memberi pengampunan kepada para penjarah,
maka kami yang akan terus mengingatkan:
korupsi bukan hanya pelanggaran hukum, tapi perusakan masa depan bangsa.