Pertamina dan Rp 285 Triliun yang hilang dari rakyat. Di tengah gelombang krisis dan sembako yang terus naik harganya, rakyat hanya bisa menggenggam doa dan bensin oplosan. Namun di atas meja-meja rapat tertutup dan dermaga-dermaga yang jauh dari kamera, uang negara mengalir ke tempat yang seharusnya tidak pernah ada: rekening pengkhianat.
Kasus korupsi tata kelola minyak dan produk kilang Pertamina tahun 2018 hingga 2023 bukan sekadar kejahatan ekonomi. Ia adalah penghisapan sistematis terhadap nadi energi bangsa. Pada 10 Juli 2025, Kejaksaan Agung telah mengumumkan sebanyak 9 tersangka baru. Sehingga hal ini menambah daftar panjang mereka yang pernah dan masih menjarah kekayaan negeri secara senyap tapi kejam.
Dari pejabat tinggi Pertamina hingga pengusaha bayangan yang tak asing namanya, dari kilang minyak hingga kapal tanker, dari Jakarta hingga Singapura—jejak-jejak busuk ini mengurai fakta bahwa korupsi di sektor energi bukan sekadar penyimpangan prosedur, tapi bentuk nyata pengkhianatan terhadap hak hidup rakyat.
Lantas, siapa mereka?
Nama-nama itu muncul satu per satu, seperti bayangan lama yang tak pernah benar-benar pergi.
Ada yang pernah menduduki kursi penting di Pertamina, ada yang bergerak di balik perusahaan logistik dan terminal minyak, dan ada pula yang namanya telah lama terkenal sebagai penyelundup licik yang melintasi batas hukum dengan uang dan pengaruh.
Bukan lagi sekadar kasus pengadaan atau markup. Ini tentang bagaimana negara bisa rusak dari dalam, oleh mereka yang mendapatkan mandat untuk menjaganya.
285 triliun rupiah bukan sekadar angka—ia adalah napas yang sesak, jalan yang berlubang, dan perut yang tetap lapar meski negara kaya raya.
Karena di negeri yang berlimpah minyak, kebenaran pun bisa ikut terbakar—jika tak ada yang mengingatnya kembali dalam bentuk kisah.
Baca Juga: Setya Novanto dan Parodi Keadilan Indonesia: Pengampunan bagi Penjarah Negara
Pertamina dan Kronologi Kasus: Tahun-Tahun yang Membusuk dalam Sunyi
2018–2023 adalah tahun-tahun di mana Pertamina, simbol energi negara, diam-diam menjadi ladang penghisapan.
Di balik laporan laba dan kampanye “mandiri energi”, justru terjalin benang gelap yang menghubungkan pejabat, pengusaha, dan mafia lama yang pernah menghilang—kini kembali.
2018
- Sistem pengadaan minyak mentah dan produk kilang mulai beralih menuju segelintir pejabat di dalam Pertamina dan ISC (Integrated Supply Chain).
- Penunjukan perusahaan-perusahaan tertentu tanpa lelang terbuka.
- Mulai ada penyimpangan kontrak pengadaan dengan pihak luar negeri seperti Trafigura Pte Ltd.
2019–2020
- Pecampuran BBM mulai berproses: pengoplosan bensin RON 90 menjadi RON 92, lalu beredar sebagai Pertamax.
- Mempersulit jalur logistik secara sengaja agar penyedia “tertentu” mendapat proyek sewa kapal dan tangki.
- Jejak nama Riza Chalid kembali muncul, melalui perusahaan PT Orbit Terminal Merak dan PT Tangki Merak Energi, penyewaan Pertamina tanpa dasar yang sah.
2021–2022
- Biaya logistik membengkak, bahkan naik 13–15% dari harga standar, tanpa justifikasi.
- Internal audit Pertamina menemukan kejanggalan, namun laporan mendapat rintangan.
- Direktur dan VP di beberapa lini mulai rotasi. Tetapi, bukan untuk bersih-bersih—melainkan menyembunyikan jejak.
2023
- Harga BBM naik di tengah beban rakyat.
Namun sebagian bensin yang beedar ternyata bukan hasil kilang standar, melainkan hasil oplosan yang memiliki kontrak tersembunyi. - Pemerintah mulai menerima tekanan dari internal lembaga pengawas dan wartawan energi.
2024: Titik Didih
- Kejaksaan Agung RI mulai menyelidiki kasus ini secara serius.
- Dipanggil puluhan saksi dari internal Pertamina, Patra Niaga, hingga subholding dan mitra asing.
- Beberapa pejabat mendekam sementara.
Namun nama-nama besar masih berada di luar jangkauan hukum—bersembunyi di luar negeri, atau berlindung di balik bendera korporasi.
Februari 2025
- 7 tersangka pertama diumumkan. Termasuk:
- Direktur Utama Patra Niaga
- VP Supply Chain
- Broker dari pihak swasta
10 Juli 2025
- 9 tersangka baru bermunculan.
Nama-nama seperti Hanung Budya, Hasto Wibowo, dan Riza Chalid resmi mendapat perhatian publik.
Riza Chalid—yang pernah hilang dari radar hukum lebih dari satu dekade—kini menjadi buron kembali, pernah mangkir tiga kali dan bersembunyi di Singapura.
Ini bukan kronologi kasus. Ini adalah daftar tahun-tahun di mana rakyat mendapat kebohongan berjamaah, energi hilang, dan uang negara menguap bukan karena gagal kelola—tapi karena niat untuk merampok sudah tumbuh sejak awal.
9 Tersangka Baru dan Peran Mereka dalam Penghisapan Energi Negara Senilai Rp 285 Triliun
Ada yang pernah duduk di puncak kekuasaan korporat, ada pula yang mengatur lalu lintas minyak dari balik meja transaksi.
Dan seperti hantu lama yang kembali menghantui, nama Riza Chalid kembali muncul, membawa aroma minyak dan politik yang tak pernah benar-benar padam.
Berikut adalah sembilan nama yang dari Kejaksaan Agung pada 10 Juli 2025 sebagai tersangka baru dalam kasus korupsi tata kelola minyak dan produk kilang Pertamina:
1. Hanung Budya (HB)
Jabatan: Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina (2014)
Peran:
- Menyetujui alur distribusi minyak mentah dan BBM hasil blending yang cacat standar.
- Mengesahkan transaksi tanpa lelang dengan pihak luar negeri, termasuk penyewaan kilang dan terminal.
2. Hasto Wibowo (HW)
Jabatan: SVP Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina (2018–2020)
Peran:
- Memfasilitasi penunjukan langsung mitra logistik dan penyedia BBM.
- Terlibat dalam pengaturan suplai BBM RON 90 menjadi RON 92, yaitu Pertamax.
3. Dwi Sudarsono (DS)
Jabatan: VP Product Trading ISC (2019–2020)
Peran:
- Terlibat aktif dalam manipulasi harga jual dan beli minyak mentah
- Perkiraan menerima insentif dari mitra luar untuk menyetujui skema blending
4. Toto Nugroho (TN)
Jabatan: SVP Integrated Supply Chain (2017–2018)
Peran:
- Menandatangani kerja sama penyewaan fasilitas logistik milik swasta tanpa evaluasi risiko
- Terlibat dalam penghilangan aset negara melalui alih kontrak
5. Alfian Nasution (AN)
Jabatan: VP Supply & Distribusi (2011–2015)
Peran:
- Membuka jalur pengadaan kepada perusahaan luar negeri dengan spesifikasi yang tidak sesuai
- Meninggalkan warisan prosedur internal yang berguna dalam skema-skema manipulatif berikutnya
6. Arief Sukmara (AS)
Jabatan: Direktur Gas & New Business, Pertamina International Shipping
Peran:
- Mengatur pengalihan pengangkutan melalui kapal milik pihak tertentu untuk menaikkan biaya logistik
- Terlibat dalam kerja sama penyewaan kapal milik perusahaan yang berkaitan dengan Riza Chalid
7. Martin Haendra Nata (MHN)
Jabatan: Business Development Manager, Trafigura Pte Ltd (2020–2021)
Peran:
- Bertindak sebagai penghubung antara pihak dalam Pertamina dan korporasi minyak asing
- Menyusun skema harga dan pengiriman minyak yang merugikan negara
8. Indra Putra (IP)
Jabatan: Business Development Manager, PT Mahameru Kencana Abadi
Peran:
- Menyediakan jalur distribusi “abu-abu” untuk BBM oplosan
- Terhubung dengan jaringan bisnis Riza Chalid secara tidak langsung
9. Mohammad Riza Chalid (MRC)
Jabatan: Beneficial Owner PT Orbit Terminal Merak & PT Tangki Merak Energi
Peran:
- Tokoh lama dunia migas Indonesia kembali beroperasi melalui perusahaan bayangan
- Pertamina menyewa Terminal miliknya tanpa dasar pelelangan atau audit
- Hingga saat ini masih buron dan kecurigaan tersebut mengarah di Singapura
- Menjadi simbol bagaimana mafia energi tetap eksis, bahkan setelah dua dekade
Ini bukan sekadar daftar nama.
Ini adalah struktur dari sistem rusak yang bertahan karena saling melindungi.
Sebagian dari mereka pernah menyusun peta distribusi energi nasional—dan kini terbukti menyedot nyawa dari sistem itu sendiri.
Baca Juga: “Kejagung Tetapkan 9 Tersangka Baru Kasus Tata Kelola Minyak Mentah Pertamina”
Modus Operasi: Bagaimana Mereka Merampok Pertamina dalam Sunyi
Kejahatan terbesar bukanlah pencurian, tapi pengkhianatan dengan dalih strategi korporasi.
Manipulasi di ruang rapat tertutup dan dokumen tender palsu, ratusan triliun rupiah menguap, legal di atas kertas—tapi busuk di dalam.
1. Penunjukan Langsung: Merusak Sistem dari Hulu
- Para pejabat Pertamina menyiasati regulasi pengadaan dengan melakukan penunjukan langsung terhadap perusahaan tertentu.
- Nama seperti PT Orbit Terminal Merak dan Trafigura Pte Ltd muncul dalam kontrak jangka panjang tanpa pelelangan terbuka.
- Penunjukan secara berulang dan sistematis, menutup akses bagi perusahaan lain yang lebih layak, dan menciptakan monopoli terselubung.
Semua dilakukan atas nama efisiensi. Padahal efisiensi itu hanya untuk satu pihak: mereka sendiri.
2. Blending BBM: Oplosan RON 90 Jadi Pertamax
- Pengolahan BBM berkualitas rendah (RON 90) menjadi RON 92 dengan metode blending cepat, kemudian beredar sebagai Pertamax.
- Proses ini tidak sesuai standar kilang nasional, tapi tetap mendapat pengesahan dalam sistem penjualan resmi.
- Rakyat membeli bensin oplosan dengan harga BBM berkualitas tinggi, tanpa pernah tahu bahwa yang mereka isi di tangki adalah penipuan resmi.
3. Manipulasi Logistik: Jalur Kapal dan Tangki Sengaja Dimahal-mahalkan
- Rute pengangkutan BBM lebih panjang dari seharusnya.
- Kapal berasal dari perusahaan rekanan dengan tarif di atas standar, naik 13–15%.
- Terminal minyak milik Riza Chalid, penyewaan tanpa perjanjian yang adil, bahkan sebagian tidak tercatat sebagai aset negara.
Biaya logistik pun meledak, bukan karena kebutuhan teknis, tapi karena ada banyak tangan yang harus mendapat bagian.
4. Pemalsuan Dokumen dan Hilangnya Aset
- Dalam audit internal, dokumen pelelangan dipalsukan atau sengaja tidak dilaporkan.
- Beberapa aset logistik dan kilang dicatat sebagai milik perusahaan swasta, padahal dibeli dengan dana Pertamina.
- Tindak pidana ini bukan hanya menyebabkan kerugian, tapi juga menghilangkan jejak kepemilikan negara atas infrastruktur penting.
5. Koneksi ke Luar Negeri: Perlindungan di Balik Bendera Asing
- Trafigura, perusahaan migas internasional yang bermarkas di Singapura, berguna sebagai pelindung hukum dan jalur distribusi BBM.
- Beberapa transaksi merupakan intas negara, dengan perantara dari korporasi palsu atau dorman.
- Saat penyidikan tahap awal, tokoh kunci seperti Riza Chalid dengan mudah menghilang ke Singapura, berlindung pada sistem hukum negara lain.
Kejahatan ini dirancang agar tak bisa dijangkau hukum nasional—karena memang sejak awal tidak dibuat untuk terungkap. Inilah modus operasi kejahatan tingkat tinggi: bukan perampokan dengan senjata, tapi dengan dokumen.
Bukan pengambilan paksa, tapi pengelabuan struktural. Dan karena itu, ia jauh lebih berbahaya.
Jejaring dan Kepentingan di Pertamina: Kekuasaan yang Tak Terlihat
Mereka yang tampak hanyalah wajah.
Tapi di balik wajah-wajah itu, berdiri jejaring yang menjangkau istana, kementerian, lembaga pengawas, bahkan kantor partai.
Mereka tidak berdiri sendiri. Mereka dilindungi, dibiarkan, bahkan dipelihara.
1. PT Orbit Terminal Merak dan Riza Chalid: Kembalinya Mafia Minyak Lama
- Riza Chalid terkenal sejak awal 2000-an sebagai pemain utama dalam ekspor-impor minyak. Namanya sempat hilang pasca skandal Papa Minta Saham.
- Ia muncul sebagai pemilik terminal, tempat transaksi dan penyimpanan minyak berlangsung secara diam-diam.
- Riza tidak hanya berdagang minyak—ia membangun jembatan antara korporasi dan kekuasaan. Terminalnya menjadi titik masuk uang kotor dan persekongkolan elit.
2. Trafigura Pte Ltd: Tameng Global untuk Kejahatan Lokal
- Perusahaan ini berbasis di Singapura, dan terkenall sebagai eksportir dan penyuling minyak global.
- Melalui cabangnya, Trafigura menjadi pihak penyedia dalam skema pembelian minyak mentah, tanpa proses tender terbuka.
- Perjanjian antara Trafigura dan Pertamina merupakan dengan dukungan penghubung internal, yaitu para VP dan SVP ISC.
Kejahatan ini berlapis. Di atas korupsi, ada internasionalisasi.
Di atas markup, ada legitimasi asing.
3. PT Mahameru Kencana Abadi: Perusahaan Bayangan yang Jadi Jalur Dana
- Perusahaan ini tidak populer. Tapi jejak transaksinya ada dalam banyak dokumen sewa logistik dan kontrak distribusi.
- Diduga kuat sebagai proxy untuk salah satu tokoh kunci dalam jaringan.
- Salah satu pengelolanya, Indra Putra, membuka jalur distribusi BBM oplosan yang dilegalkan lewat permainan dokumen.
4. Perlindungan Politik: Nama-Nama yang Tidak Pernah Disebut
- Banyak dari tersangka adalah mantan pejabat tinggi yang menjabat saat rezim berganti.
- Tidak sedikit dari mereka yang terafiliasi secara longgar dengan partai politik besar.
- Beberapa nama—baik dari legislatif maupun kementerian—tidak muncul di media, tapi muncul dalam bisik-bisik internal investigasi.
Mereka mungkin tidak menandatangani kontrak.
Tapi mereka yang membuat kontrak itu mungkin—dan itu jauh lebih berbahaya.
5. Mata Rantai Kebal Hukum
- Hingga kini, Riza Chalid belum juga ditangkap, meski telah dipanggil tiga kali oleh penyidik.
- Ia dilindungi oleh absennya perjanjian ekstradisi, serta oleh kekuatan uang yang menyelinap di setiap sisi hukum.
- Pengawasan internal Pertamina sudah lama tahu soal ini. Tapi laporan mereka tak pernah naik ke permukaan. Ada kekuatan yang menghentikannya di tengah jalan.
Ini bukan tentang sembilan orang tersangka.
Ini tentang sebuah sistem yang diciptakan agar korupsi bisa tetap hidup tanpa harus sembunyi.
Mereka tidak bekerja sendirian. Mereka adalah bagian dari arsitektur kebusukan yang berdiri di atas izin dan diamnya kekuasaan.
Dampak ke Rakyat: Ketika Korupsi Rp 285 Triliun Mengalir Sampai ke Kompor dan Dompet
Tidak ada peluru yang ditembakkan. Tidak ada bom yang diledakkan.
Tapi ribuan keluarga kehilangan daya beli, jutaan motor diisi bensin oplosan, dan jutaan perut ditahan lapar demi bertahan hidup.
Inilah kekejaman yang bekerja tanpa suara: korupsi yang menyaru sebagai kebijakan energi.
Harga BBM Naik, Tapi Kualitas Justru Turun
- Pertamax, yang dijual dengan harga tinggi, ternyata berasal dari campuran RON 90 yang dioplos.
- Rakyat membeli kebohongan yang dikemas sebagai kemajuan energi.
- Masyarakat tidak tahu bahwa mereka tengah membayar lebih mahal untuk bahan bakar yang lebih buruk.
Subsidi Membengkak karena Manipulasi Data
- Data pengadaan dan distribusi BBM disesuaikan dengan kontrak fiktif.
- Pemerintah membayar subsidi berdasarkan angka yang sudah direkayasa.
- Negara merugi dua kali: pertama saat membeli dari mafia, kedua saat mensubsidi rakyat dengan uang yang sudah dikuras.
Uang Negara Tersedot, Anggaran Publik Terpangkas
- Rp 285 triliun seharusnya bisa:
- Membangun 5.000 rumah sakit kecil
- Menambah 100.000 guru honorer jadi ASN
- Memperluas jaringan listrik ke ribuan desa
- Tapi anggaran itu hilang, tidak terdengar suaranya, tenggelam dalam tumpukan kertas dan dokumen tender.
Ketimpangan Melebar: Energi Jadi Alat Penindasan Baru
- Rakyat kecil makin terbebani, sementara mereka yang mengatur alur BBM tetap kenyang.
- BBM subsidi habis lebih cepat, karena sebagian besar mengalir ke industri dan tangan-tangan yang tak berhak.
- Desa-desa gelap di malam hari, sementara kota-kota menyalakan lampu dari uang kotor.
Korupsi bukan hanya merugikan keuangan negara.
Ia mengubah kehidupan orang-orang biasa jadi lebih sulit, lebih lelah, dan lebih gelap—tanpa mereka tahu bahwa pelakunya sedang bersulang di ruangan berpendingin udara.
Yang Terbakar Tak Hanya Minyak Pertamina, Tapi Harga Diri Bangsa
Dalam dunia yang dikendalikan oleh angka, dokumen, dan kekuasaan, rakyat kerap hanya muncul sebagai statistik.
Padahal merekalah yang pertama merasakan sesaknya harga BBM, mahalnya hidup, dan ambruknya kepercayaan.
Korupsi di sektor energi bukan sekadar permainan uang. Ia adalah pembunuhan lambat terhadap harapan dan keadilan.
Karena ketika minyak tak lagi dikendalikan oleh negara, tapi oleh tangan-tangan yang haus kekayaan—maka yang terbakar bukan hanya kompor, tapi juga masa depan.
Mereka yang kini duduk sebagai tersangka hanyalah permukaan.
Di bawahnya ada sistem, ada pelindung, ada panggung kekuasaan yang senyap tapi jahat.
Dan di atas semua itu, berdiri wajah bangsa yang dipermalukan oleh diamnya sendiri.
Kami menuliskan ini bukan untuk jadi viral.
Tapi agar siapa pun yang membaca tahu:
yang terjadi bukan kelalaian. Tapi keputusan sadar untuk menghancurkan negeri ini dari dalam.