Annie Ernaux, seorang penulis dan profesor asal Perancis yang lahir pada tanggal 1 September 1940. Ia telah meraih penghargaan yang paling bergengsi dalam dunia sastra, yaitu Penghargaan Nobel Sastra pada tahun 2022.
Prestasi luar biasa ini ada berkat karya tulisannya yang memukau mengenai keberanian dan ketajaman klinis dalam mengungkap akar, keterasingan, dan pengekangan kolektif dari ingatan pribadi.
Perjalanan Annie Ernaux Menuju Sastra
Bagi banyak penulis, awalnya selalu menjadi momen yang paling sulit dalam menulis. Annie Ernaux juga merasakannya, berulang kali berdiri di hadapan halaman kosong, mencari satu kalimat yang akan membukakan pintu menuju proses penulisan dan menghilangkan semua keraguan dengan satu kali jentikan.
Namun, pada suatu hari, ketika Annie Ernaux berhadapan pada situasi yang mendalaminya dengan ketakutan tumbuh, ia menemukan kalimat tersebut. Kalimat yang begitu jelas dan tajam, lapidary, dan tak terbantahkan. Ini tertulis dalam buku hariannya enam puluh tahun yang lalu: “Aku akan menulis untuk membalaskan kaumku, j’écrirai pour venger ma race.”
Kalimat ini menggema seperti jeritan Rimbaud: “Aku berasal dari ras rendahan selamanya.” Pada saat itu, ia berusia dua puluh dua tahun dan sedang belajar sastra di sebuah fakultas provinsi dengan anak-anak perempuan dan laki-laki dari kalangan borjuis setempat.
Cinta Annie Ernaux pada Sastra
Kecintaan Annie Ernaux pada sastra sudah mulai sejak ia mampu membaca. Buku-buku adalah teman-temannya, dan membaca adalah pekerjaan alami di luar sekolah. Ibu Annie, yang mengoperasikan sebuah toko, sering membaca banyak novel dan lebih suka anaknya membaca daripada menjahit dan merajut. Harga buku yang tinggi dan ketidakpercayaan yang menyertainya di sekolah agamanya menjadikan buku-buku semakin Ia idamkannya.
Don Quixote, Gulliver’s Travels, Jane Eyre, kisah-kisah Grimm dan Andersen, David Copperfield, Gone with the Wind, dan kemudian Les Misérables, The Grapes of Wrath, Nausea, The Stranger – semuanya ditentukan oleh keberuntungan daripada preskripsi sekolah.
Ketika ia memilih belajar sastra, Annie Ernaux memilih untuk tetap berada di dalam sastra yang telah menjadi sesuatu yang sangat berharga baginya. Bahkan menjadi gaya hidup yang memungkinkannya untuk menghayati novel-novel Flaubert atau Virginia Woolf dan benar-benar menjalani mereka.
Sastra adalah semacam benua yang secara tidak sadar ia tempatkan sebagai lawan dari lingkungan sosialnya. Dan ia memahami bahwa menulis bisa menjadi cara untuk mengubah realitas. Namun, penolakan atas novel pertamanya oleh dua atau tiga penerbit tidak meredam hasrat dan kebanggaannya.
Kehidupan dan situasi sosial yang terpengaruhi oleh perbedaan gender yang sangat ia rasakan. Di sebuah masyarakat di mana peran-peran jenis kelamin tentukan, membuatnya semakin menjauh dari menulis dan janjinya untuk membalaskan kaumnya.
Unduh Pdfnya di sini
Annie Ernaux Menggali Kembali Akar dan Identitas
Situasi pribadi dan historis mengarahkannya kembali ke akar-akarnya, ke “kaum”nya, dan memberikan hasratnya untuk menulis urgensi yang mutlak. Tidak lagi tentang “menulis tentang ketiadaan” seperti masa dua puluhannya.
Sekarang ia harus menggali dalam-dalam pada memori yang terkubur, memahami bagaimana kaumnya hidup. Annie Ernaux menulis untuk memahami alasan-alasan, baik dalam dirinya maupun di luar dirinya, yang membuatnya menjauh dari akarnya.
Dalam menulis, tidak ada pilihan yang jelas. Bagi mereka yang, sebagai imigran, tidak lagi berbicara dalam bahasa ibu mereka. Dan bagi mereka yang sebagai penentang kelas sosial, tidak lagi memiliki bahasa yang sama, berpikir dan berbicara dengan kata-kata yang berbeda, menghadapi tantangan tambahan. Tantangan tersebut adalah dilema.
Mereka merasa kesulitan, bahkan tidak mungkin, untuk menulis dalam bahasa dominan yang telah mereka kuasai mengenai dunia asal mereka. Dunia pertama yang terdiri dari sensasi dan kata-kata yang menggambarkan kehidupan sehari-hari, pekerjaan, dan tempat mereka dalam masyarakat.
Baca Juga: Penerima Nobel Sastra 2023
Transformasi dalam Penulisan
Annie Ernaux juga merasakan dilema ini, dan dia merasa bahwa dia harus memutuskan untuk “menulis dengan baik” dan kalimat-kalimat indah yang diajarkan kepada siswa-siswinya harus dihapus untuk menggali dan memahami perpecahan dalam dirinya.
Yang muncul secara spontan adalah suara bahasa yang membawa kemarahan, ejekan, bahkan kekasaran; bahasa berlebih, pemberontak, sering yang terhina dan terluka gunakan sebagai satu-satunya respons terhadap kenangan akan penghinaan orang lain, rasa malu, dan malu karena merasa malu. Annie Ernaux memutuskan untuk menuliskan realitas itu dengan kejujuran dan kebukaan.
Kesimpulan
Dalam karya-karyanya, Annie Ernaux menemukan cara yang unik untuk menyampaikan pengalaman-pengalaman ini. Ia tetap menggunakan “aku” dalam penulisan, meskipun dalam sastra, penggunaan orang pertama terkenal sebagai narasisme.
Baginya, penggunaan “aku” adalah alat eksplorasi yang menangkap sensasi: yang terkubur dalam ingatan, yang dunia di sekitar kita terus berikan, di mana saja dan kapan saja.
“Aku” di dalam bukunya menjadi alat yang dapat digunakan pembaca untuk meresapi pengalaman tersebut, sehingga menjadi pengalaman kolektif. Ini adalah cara Annie Ernaux memandang komitmen dalam menulis, bukan sekadar menulis “untuk” pembaca.
Baca Juga: Penerima Nobel Sastra 2021