MOCOPAT.com – Wacana de-dolarisasi ini muncul sebagai respons terhadap berbagai isu global dan perubahan geopolitik. Terutama setelah pecah perang Rusia-Ukraina pada Februari 2022.
Hingga muncul upaya untuk menghukum Rusia melalui pembekuan sebagian besar dari cadangan mata uang asingnya oleh pemerintah barat memicu reaksi yang signifikan.
Negara-negara seperti India dan China mulai melakukan transaksi dalam mata uang mereka sendiri, yaitu rupee dan yuan, sebuah cara de-dolarisasi. Transaksi dengan mata uang tersebut sebagai alternatif untuk tetap berdagang dengan Rusia.
BRICS Pioner De-Dolarisasi
De-Dolarisasi sebenarnya dilakukan oleh masing-masing negara diantaranya Brasil, India dan China . Hingga Rusia juga muncul mengikutinya lalu Afrika Selatan.
Brasil dan China awalnya mulai berdagang dalam yuan, yang berpotensi membantu meningkatkan peran renminbi China sebagai mata uang internasional yang dapat menantang dominasi dolar. India juga mencoba menjauh dari ketergantungan terhadap dolar dengan memungkinkan 18 negara, termasuk Inggris, Jerman, Rusia, dan Uni Emirat Arab, untuk berdagang dalam mata uang rupee India. De-Dolarisasi oleh BRICS ini yang sekarang mencuat secara global.
Pendukung de-dolarisasi berpendapat bahwa proses ini akan mengurangi ketergantungan negara-negara lain pada dolar dan ekonomi AS. Hal ini dapat membantu mengurangi dampak perubahan ekonomi dan politik di AS terhadap ekonomi mereka sendiri. Selain itu, negara-negara dapat mengurangi keterpaparan terhadap fluktuasi mata uang dan perubahan suku bunga. De-Dolarisasi ini nantinya dapat membantu meningkatkan stabilitas ekonomi dan mengurangi risiko krisis keuangan.
Moco juga Indonesia Bentuk Satgas Nasional LCT
Awal Mata Uang Dolar Menguasai
Dolar AS telah lama mendominasi pasar mata uang dunia. Keputusan untuk menjadikan dolar sebagai mata uang cadangan resmi dunia terjadi pada tahun 1944. Hal ini berdasarkan pada Perjanjian Bretton Woods oleh delegasi dari 44 negara Sekutu.
Sejak itu, dolar telah menjadi mata uang yang paling kuat dan berpengaruh di dunia. Dampaknya adalah bahwa AS memiliki pengaruh yang tidak sebanding terhadap ekonomi negara lain. Hinggul muncul wacana de-dolarisasi.
Menurut data Bank of International Settlements, hampir 90 persen dari seluruh transaksi valuta asing global terjadi dalam dolar AS. Ini membuat negara-negara lain sangat rentan terhadap risiko perubahan nilai tukar dolar AS, seperti yang terjadi selama periode ketidakpastian ekonomi global pada tahun 2022. Potensi kenaikan suku bunga AS juga menjadi perhatian besar. Hingga muncul wacana de-Dolarisasi.
Seiring dengan itu, negara-negara seperti Rusia dan China telah mengejar upaya untuk mengakhiri dominasi dolar. Proses ini terkenal sebutan de-dolarisasi, yang mengacu pada pengurangan ketergantungan terhadap dolar AS dalam perdagangan minyak dan komoditas lainnya. Upaya ini memungkinkan negara-negara untuk memiliki lebih banyak kendali atas mata uang mereka sendiri, mengurangi dampak fluktuasi nilai tukar dan perubahan suku bunga, serta meningkatkan stabilitas ekonomi mereka.
Wacana de-dolarisasi telah menjadi topik yang semakin penting dalam debat ekonomi global. Menurut Dana Moneter Internasional, bank sentral saat ini tidak memegang dolar AS sebagai cadangan dalam jumlah yang sama seperti sebelumnya. Pada kuartal terakhir tahun lalu, pangsa dolar dari cadangan devisa global turun di bawah 59 persen, yang merupakan penurunan yang berlanjut selama dua dekade.
Penurunan ini tidak hanya terjadi begitu saja namun juga turut dengan terjadinya peningkatan penggunaan mata uang lain seperti pound sterling, yen, atau euro, tetapi juga dengan pergeseran signifikan ke renminbi Tiongkok dan mata uang negara-negara kecil yang memiliki peran terbatas sebagai mata uang cadangan sebagai upaya de-Dolarisasi.